Tuesday 26 February 2013

Sulit Indonesia Menjadi Negara Maju dengan Masyarakat yang Beradab

Indonesia memang sudah menembus pendapatan perkapita USD3.000 yang artinya semakin banyak masyarakat kelas menengah, Mas Yuswohadi menyebutnya Consumer 3000 atau C3000. Silakan baca buku beliau untuk mengetahui lebih banyak tentang masyarakat C3000.

Ciri masyarakat yang sudah semakin banyak kelas menengahnya adalah mereka sangat konsumtif karena mereka memiliki uang lebih di luar pengeluaran rutinnya. Alhasil, jika ada gadget yang menarik, tas keren bermerek, ada konser dari artis papan atas Amerika, semuanya tidak luput dari genggaman mereka. Barang-barang yang tadinya hanya segelintir orang yang punya dan pastinya orang itu tajir banget, sekarang sudah banyak yang bisa membelinya. BMW sudah bukan lagi barang yang eksklusif. Yang masih eksklusif itu bisa jadi Ferrari misalnya. Kalau yang ratusan juta saja sudah bukan lagi eksklusif, apalagi hanya sebuah iPhone 5, Samsung Galaxy S3, Galaxy Note, atau iPad 2, bahkan orang rela antri berjam-jam, malah ada yang sampai menginap di tempat, hanya untuk mendapatkan sebuah Samsung Galaxy S3. Jangankan S3, BlackBerry yang harganya jauh di bawah S3 banyak yang rela antri.

Saya tidak ingin membicarakan ciri-ciri masyarakat kelas menengah ini lebih mendalam, tetapi saya ingin berbicara tentang perilaku masyarakat Indonesia dibandingkan dengan perilaku masyarakat negara lain yang pendapatan perkapitanya sudah menembus USD3000 dan sukses melangkah menjadi negara maju. Pertanyaannya, apakah masyarakat Indonesia bisa maju?

Kalau dari sudut pandang ekonomi, saya optimis Indonesia akan mampu menjadi negara maju. Ini didasarkan pada pertumbuhan ekonomi yang semakin membaik dan semakin banyaknya start-up, UKM, dan pengusaha muda yang bermunculan. Ya, sepertinya Indonesia akan mampu menjadi negara maju.

Sayangnya, jika ditinjau dari perilaku, rasanya sulit bagi Indonesia untuk menuju negara maju. Masyarakat negara maju adalah masyarakat beradab (civilized), mereka mengerti hak dan kewajibannya sebagai warga negara dan menjalankan dengan kesadaran penuh. Mereka akan menyeberang jalan ketika lampu untuk menyeberang sudah menyala. Mereka akan menunggu bus di halte dan tidak memberhentikan bus seenaknya di pinggir jalan manapun. Mereka akan menghentikan kendaraannya ketika lampu merah menyala. Mengantri sudah menjadi budaya. Buang sampah juga pada tempatnya. 

Bagaimana dengan masyarakat Indonesia? Pasti pembaca akan senyam-senyum membandingkan antara masyarakat Indonesia saat ini dengan masyarakat negara maju seperti yang saya sebutkan di atas. Masih mungkinkah masyarakat Indonesia menjadi masyarakat beradab?

Ketika banyak pengendara sepeda motor dan angkot yang tidak mengenal warna lampu lalu lintas sehingga merah, hijau, dan kuning semuanya sama saja artinya yakni jalan terus, ketika pejalan kaki diambil hak jalannya di trotoar oleh pengendara sepeda motor, ketika penumpang dan bus atau angkot sama-sama saling jemput bola tanpa perlu menggunakan halte sebagai tempat untuk menaikturunkan penumpang, masih mungkinkah Indonesia menjadi negara maju yang beradab?

Analisa saya mengatakan sulit. Kebiasaan tidak beradab dan beretika di atas rasanya sulit untuk diubah karena sudah mendarah daging, bahkan sudah menjadi budaya. Di tengah personil polisi yang tidak banyak, sulit untuk menyebarkan polisi di setiap lampu merah dan  mendisiplinkan masyarakat Indonesia. Cina dalam hal ini telah berhasil. Seharusnya sih, secara logika, Cina saja bisa, Indonesia juga mestinya bisa. Tapi, entah kenapa, saya koq tetap tidak yakin Indonesia mampu mengubah dirinya menjadi negara maju dengan masyarakatnya yang beradab. Berat!! Butuh waktu tahunan untuk mendisiplinkan masyarakat Indonesia sehingga menjadi masyarakat yang beradab.

Menurut Anda?



No comments:

Post a Comment