Wednesday 27 March 2013

Smartfren, Ketika Keterbukaan Terlambat Datang

Saya adalah pelanggan baru Smartfren, baru satu bulan. Saya beralih ke Smartfren karena alternatif terakhir. Sedianya saya ditawarkan berlangganan First Media oleh seorang sales, dia bilang rumah saya sudah masuk jaringan First Media. Ya sudah saya daftar. Ketika teknisi menjanjikan untuk datang melakukan pemasangan, saya langsung memutuskan berhenti berlangganan wireless internet dari Net-Zap. Mungkin banyak yang baru kali ini mendengar nama Net-Zap. Net-Zap sebenarnya bagus, pelayanannya juga bagus meskipun saya menelepon untuk memutuskan berhenti berlangganan, mereka tetap melayani dengan baik, sayangnya untuk memainkan Youtube tidak lancar. Ada paket dedicated, tetapi Rp500.000 / bulan, sayang banget untuk kebutuhan saya yang tidak terlalu besar. Ketika teknisi First Media datang ke rumah, akhirnya terkuaklah kalau saya harus menarik kabel dari ujung jalan sepanjang 60 - 70 meter karena pada dasarnya jalan di rumah saya belum terpasang terminal-terminal First Media. Saya tidak jadi karena di samping harus mengeluarkan biaya tambahan Rp10.000 / meter, tidak ada jaminan kualitas tetap bagus dengan jarak di atas 50 meter. Akhirnya, saya memutuskan berlangganan Smartfren.

Saya memutuskan berlangganan Smartfren karena testimoni teman yang mengatakan kalau Smartfren oke, sesuai dengan iklannya: Anti Lelet. Keputusan menggunakan Smartfren makin mantap setelah meminjam USB modem Smartfren milik teman untuk dites di rumah. Video Youtube berjalan dengan lancar tanpa jeda. 

Di pameran Mega Bazaar Computer 2013, saya membeli USB modem Smartfren dan Wireless router TP-Link yang memungkinkan USB modem Smartfren terhubung dengan router tersebut. Hari pertama pengujian berjalan dengan lancar. Facebook lancar, Youtube dimainkan dengan sempurna. 

Dua minggu kemudian, saya merasakan ada masalah dengan akses ke Facebook, lama masuknya. Saya coba akses dengan provider lain, ternyata lancar-lancar saja. Saya coba cari tahu fan page Smartfren dan akhirnya ketemu, namun yang membuat saya terkejut ternyata tidak ada fitur untuk posting. Jika ingin melakukan keluhan, ada tab khusus yang bisa diakses di mana kita harus memasukkan data diri dulu sebelum menyampaikan keluhan. Agak merepotkan menurut saya. Akhirnya, saya komentar lah di mana saja di postingan Smartfren bahwa saya sedang mengalami masalah dengan koneksi ke Facebook. Sayangnya, tidak ada balasan dari Smartfren.

Hari ini, saya baru saja membaca info kalau ternyata Smartfren mengalami masalah, jaringan bawah lautnya terputus. Ketika di-backup dari jalur darat, jalur darat pun terputus akibat longsor di Sumatera. Sewa jaringan ke provider lain ternyata hanya bertahan sebentar karena provider tersebut mengalami kendala juga. Berita mengenai ini bisa dibaca di Kompas Tekno atau di CHIP Online. Smartfren juga akhirnya memberikan pernyataan di fan page-nya, tetapi tidak menyatakan langsung masalah yang terjadi, mereka hanya mengatakan sedang mengalami gangguan karena optimalisasi jaringan. Tahu apa komentar fansnya? Banyak yang melakukan sumpah serapah dan ada juga yang sudah tahu masalahnya dari info di web ikut berkomentar pedas. Apakah Smartfren memberikan jawaban? Hingga tulisan ini dibuat saya tidak melihat ada satu pun komentar dari Smartfren.

Apa yang bisa kita pelajari dari kasus Smartfren ini?

Pertama, ada masalah di strategi media sosial dari Smartfren. Mereka menutup rapat-rapat postingan dari fans dan meminta fans untuk menyampaikan keluhan di halaman yang sudah disediakan. Strategi ini di satu sisi bisa diterima sebagai upaya meredam munculnya komentar-komentar negatif di fan page, tetapi di sisi lain membuat percakapan antara fans dan brand terasa dibatasi. Dengan strategi ini, brand - dalam hal ini Smartfren - yang selalu memulai percakapan, sementara fans "dituntut" untuk berkomentar atau menyukai postingan dari brand. Fans tidak diberi kesempatan untuk memulai percakapan. Padahal di media sosial, membangun percakapan (conversation) itu penting untuk menciptakan ikatan yang kuat antara brand dengan fans-nya. 

Kedua, betapa pentingnya merespon setiap komentar, baik itu positif atau negatif. Layaknya teman, respon yang tidak penting pun patut kita lakukan karena fans akan merasa dihargai. Ketika komentar positif dengan cepat kita "Like", mengapa komentar negatif tidak segera kita tanggapi? Ingat, di media sosial, fans kita adalah teman kita. Mereka me-Like kita artinya mereka ingin menjadi teman kita, ingin berbagi dengan kita, dan ingin mendapatkan manfaat dari kita. 

Ketika komentar negatif tidak segera ditanggapi, yang muncul adalah kekesalan yang memuncak. Gimana sih rasanya kalau kita dicuekin sama teman? Bete kan? Apalagi udah seharian tetap dicuekin, bete banget kan? Tetapi jika kita segera menanggapi komentar negatif yang datang dari fans, kita berempati dan memberikan solusi, kalau memang salah ya minta maaf, mereka pasti akan menghargai kita. Komentar yang tadinya negatif akan berubah dengan sendirinya. Penting bagi sebuah brand untuk mengelola komentar negatif yang datang di media sosial menjadi apresiasi positif dari fans. Dan, ingat, jangan malu dan anti untuk meminta maaf kalau kita memang salah. Gentle dong.. :)

Ketiga, Smartfren sangat lambat memberikan penjelasan mengapa jaringan Smartfren saat ini bermasalah, padahal sudah banyak yang berkomentar dan meminta kejelasan dan Smartfren sendiri tentu sudah tahu penyebab masalah yang terjadi. Putusnya kabel bawah laut bukanlah aib, itu musibah. Maka, seandainya saja Smartfren segera menanggapi komentar yang ada dengan membuat pernyataan bahwa telah terjadi gangguan jaringan dikarenakan terputusnya kabel bawah laut dan Smartfren berusaha keras untuk secepatnya mengembalikan koneksi jaringan seperti sedia kala, maka tentu fans akan memaklumi. Sayangnya itu tidak dilakukan dan yang lebih parah, mereka lebih dulu memberikan informasi ke media, baru kemudian di fan page-nya sendiri. Itu pun ketika menginformasikan di fan page-nya, mereka tidak terbuka mengenai masalah yang sedang terjadi.

Satu hal penting, jika masalah yang terjadi yang merugikan konsumen tetapi sumber masalah bukan dari brand tersebut, misalnya masalahnya tidak terkait kualitas produk, maka segera melakukan pernyataan dan berkata jujur justru akan meredam masalah sejak dini.  Sebelum keluhan datang, kita sudah mengantisipasi sejak awal bahwa memang sedang ada masalah dan sedang dalam perbaikan. Kalau masalahnya terkait kualitas produk atau hal lain yang berkaitan dengan citra brand, maka tentu harus ada langkah-langkah bijak dan hati-hati yang perlu dilakukan agar jangan sampai pernyataan kita justru merusak citra brand kita. Peran orang-orang PR sangat dibutuhkan dalam hal ini. Namun satu hal, tetap respon atau tanggapan harus secepat mungkin. Jangan biarkan masalah berlarut-larut.





Tuesday 26 February 2013

Sulit Indonesia Menjadi Negara Maju dengan Masyarakat yang Beradab

Indonesia memang sudah menembus pendapatan perkapita USD3.000 yang artinya semakin banyak masyarakat kelas menengah, Mas Yuswohadi menyebutnya Consumer 3000 atau C3000. Silakan baca buku beliau untuk mengetahui lebih banyak tentang masyarakat C3000.

Ciri masyarakat yang sudah semakin banyak kelas menengahnya adalah mereka sangat konsumtif karena mereka memiliki uang lebih di luar pengeluaran rutinnya. Alhasil, jika ada gadget yang menarik, tas keren bermerek, ada konser dari artis papan atas Amerika, semuanya tidak luput dari genggaman mereka. Barang-barang yang tadinya hanya segelintir orang yang punya dan pastinya orang itu tajir banget, sekarang sudah banyak yang bisa membelinya. BMW sudah bukan lagi barang yang eksklusif. Yang masih eksklusif itu bisa jadi Ferrari misalnya. Kalau yang ratusan juta saja sudah bukan lagi eksklusif, apalagi hanya sebuah iPhone 5, Samsung Galaxy S3, Galaxy Note, atau iPad 2, bahkan orang rela antri berjam-jam, malah ada yang sampai menginap di tempat, hanya untuk mendapatkan sebuah Samsung Galaxy S3. Jangankan S3, BlackBerry yang harganya jauh di bawah S3 banyak yang rela antri.

Saya tidak ingin membicarakan ciri-ciri masyarakat kelas menengah ini lebih mendalam, tetapi saya ingin berbicara tentang perilaku masyarakat Indonesia dibandingkan dengan perilaku masyarakat negara lain yang pendapatan perkapitanya sudah menembus USD3000 dan sukses melangkah menjadi negara maju. Pertanyaannya, apakah masyarakat Indonesia bisa maju?

Kalau dari sudut pandang ekonomi, saya optimis Indonesia akan mampu menjadi negara maju. Ini didasarkan pada pertumbuhan ekonomi yang semakin membaik dan semakin banyaknya start-up, UKM, dan pengusaha muda yang bermunculan. Ya, sepertinya Indonesia akan mampu menjadi negara maju.

Sayangnya, jika ditinjau dari perilaku, rasanya sulit bagi Indonesia untuk menuju negara maju. Masyarakat negara maju adalah masyarakat beradab (civilized), mereka mengerti hak dan kewajibannya sebagai warga negara dan menjalankan dengan kesadaran penuh. Mereka akan menyeberang jalan ketika lampu untuk menyeberang sudah menyala. Mereka akan menunggu bus di halte dan tidak memberhentikan bus seenaknya di pinggir jalan manapun. Mereka akan menghentikan kendaraannya ketika lampu merah menyala. Mengantri sudah menjadi budaya. Buang sampah juga pada tempatnya. 

Bagaimana dengan masyarakat Indonesia? Pasti pembaca akan senyam-senyum membandingkan antara masyarakat Indonesia saat ini dengan masyarakat negara maju seperti yang saya sebutkan di atas. Masih mungkinkah masyarakat Indonesia menjadi masyarakat beradab?

Ketika banyak pengendara sepeda motor dan angkot yang tidak mengenal warna lampu lalu lintas sehingga merah, hijau, dan kuning semuanya sama saja artinya yakni jalan terus, ketika pejalan kaki diambil hak jalannya di trotoar oleh pengendara sepeda motor, ketika penumpang dan bus atau angkot sama-sama saling jemput bola tanpa perlu menggunakan halte sebagai tempat untuk menaikturunkan penumpang, masih mungkinkah Indonesia menjadi negara maju yang beradab?

Analisa saya mengatakan sulit. Kebiasaan tidak beradab dan beretika di atas rasanya sulit untuk diubah karena sudah mendarah daging, bahkan sudah menjadi budaya. Di tengah personil polisi yang tidak banyak, sulit untuk menyebarkan polisi di setiap lampu merah dan  mendisiplinkan masyarakat Indonesia. Cina dalam hal ini telah berhasil. Seharusnya sih, secara logika, Cina saja bisa, Indonesia juga mestinya bisa. Tapi, entah kenapa, saya koq tetap tidak yakin Indonesia mampu mengubah dirinya menjadi negara maju dengan masyarakatnya yang beradab. Berat!! Butuh waktu tahunan untuk mendisiplinkan masyarakat Indonesia sehingga menjadi masyarakat yang beradab.

Menurut Anda?



Sunday 24 February 2013

Beda AHASS, Beda Pelayanan

Jam 7:30 pagi saya tiba di bengkel motor Honda (AHASS) di kawasan Jalan Panjang. Mengapa sepagi itu saya harus ke bengkel? Karena kalau tidak, pasti akan dapat antrian panjang.

Sudah beberapa bulan saya tidak ke bengkel. Di ruang tunggu saya membaca sebuah pengumuman: Mulai 7 November 2012 AHASS Clara Motor buka jam 7 pagi. Wow..

Mereka benar-benar mempelajari perilaku konsumennya. Sebelum pengumuman ini, seingat saya AHASS Clara buka jam 8 pagi, tapi...., konsumen yang mau servis sudah antre sejak jam tujuhan. Keputusan untuk membuka bengkel lebih pagi adalah tepat, lebih banyak konsumen dapat dilayani.

Faktor Pembeda
Apa yang membedakan bengkel AHASS yang satu ini dengan bengkel AHASS yang lain? Nilai lebih AHASS Clara ini menurut saya mereka tidak akan menawarkan penggantian suku cadang kalau memang tidak benar-benar harus diganti. Konsumen merasa sangat puas dengan perlakuan seperti ini.

Beda halnya dengan bengkel AHASS yang ada di daerah Permata Hijau menuju Kebayoran Lama. Servis di sini pasti ada aja yang harus diganti.

Bengkel AHASS yang kedua ini sepertinya ingin mendapatkan untung lebih dari penjualan suku cadang, tapi AHASS Clara berpikir lebih cerdas, jika konsumen puas, mereka akan cerita ke mana-mana dan pasti menyarankan temannya untuk servis di bengkelnya. Lebih banyak konsumen tentu lebih menguntungkan, cukup dari jasa servis. Tidak ada ceritanya ada teknisi AHASS Clara yang nganggur tidak menangani satu motor pun.

Pelajaran
Nah, pelajaran yang perlu kita ambil dari contoh kasus ini adalah  bagaimana cara kita memandang sebuah kualitas servis dengan mempelajari value atau nilai yang diinginkan oleh konsumen. Mungkin kita tidak banyak menjual suku cadang kecuali memang konsumen mau tidak mau harus menggantinya, tetapi kita mendapatkan tambahan konsumen tanpa perlu melakukan promosi besar-besaran, karena konsumen kitalah yang telah melakukan promosi untuk kita, tanpa diminta. Rekomendasi konsumen inilah yang bagi perusahaan memberikan nilai tak terhingga. Karena itu, hadirkan layanan terbaik untuk konsumen kita agar mereka menjadi konsumen-konsumen yang loyal.

*Masih di bengkel AHASS Clara, menunggu motor yang sedang diservis.

Friday 22 February 2013

Ketika Seseorang me-Like Fan Page Samsung, Sony, dan Nokia

Pernahkah terjadi seseorang me-Like sejumlah fan page yang sebenarnya dari satu industri yang sama? Samsung, Sony, dan Nokia adalah brand-brand yang bermuara pada satu industri yang sama, ponsel. Tapi, mengapa ada seseorang yang bergabung dengan ketiga fan page dari brand tersebut?

Jawaban di atas sebenarnya mudah. Mayoritas dari mereka yang me-Like multibrand karena alasan hadiah. Mungkin ada yang beralasan karena menyukai ketiga brand tersebut, tapi menurut saya yang beralasan karena memburu hadiah kuis atau kontes lebih banyak.

Bagi sebuah brand, apa yang bisa dilakukan menyikapi gejala ini? 

Menjadi Fan Page yang Menyenangkan Buat Fans
Fan page Anda harus tampil beda dibandingkan dengan fan page kompetitor Anda. Alihkan perhatian fans yang multibrand ini ke fan page Anda dengan aktivitas menarik. Di samping menghadirkan kuis atau kontes yang menarik dan beda dengan kompetitor Anda, content fan page Anda juga harus menarik dan segar. Ciptakan content yang membuat fans Anda berinteraksi lebih banyak dengan Anda, apalagi content Anda mampu membuat fans Anda secara sukarela membaginya (share) ke orang lain. 

Agar fans Anda terus terhubung dengan Anda, tidak memiliki kesempatan untuk berpindah ke fan page kompetitor Anda, lakukanlah update content lebih sering. Jangan biarkan satu hari hanya ada satu content, tetapi juga tidak benar jika setiap saat fans kita dibombardir dengan content kita, mereka tentu akan bosan dan lari. Beri jeda antar content, misalnya 4 - 5 jam sekali. Jadi, kalau pagi hari jam 8 Anda menyapa fans Anda, menjelang makan siang Anda bisa posting sesuatu yang menarik. Nanti sekitar jam 4 - 5 sore, Anda bisa saja melakukan posting sesuatu, misalnya berita online tentang produk Anda, share youtube, dan sebagainya.

Fast Response
Fans akan sangat menghargai Anda ketika pertanyaan mereka dengan cepat dijawab. Respon yang cepat ini memberikan penilaian tersendiri bagi fans terhadap brand Anda. Buat KPI Anda, misalnya sebuah pertanyaan harus dijawab setidak-tidaknya dalam kurun waktu 1 x 24 jam. Lebih cepat, lebih baik.

Untuk memberikan respon yang cepat, diperlukan admin-admin social media yang cekatan, mengerti dan mampu menerapkan bahasa yang baik dan benar, serta menguasai produk dari brand tersebut.

Terkadang ada fans yang baru bergabung karena dia memang memiliki sesuatu yang ingin ditanyakan, namun karena 1 jam sejak dia posting tidak ada jawaban, dia langsung melakukan unlike fan page tersebut. Untuk itu, kalau bisa, admin seharusnya standby terus di jam kerja. Kalau fans bertanya malam hari, mungkin mereka bisa maklumi jika belum ada jawaban langsung malam itu, mereka tentu akan menunggu sampai besok.


Produk Harus Bagus
Apa jadinya jika produk kita adalah produk yang jelek lalu kita membuka fan page? Pastinya Anda akan disibukkan untuk menjawab atau mengklarifikasi kebenaran. 

Penting bagi sebuah brand yang memasuki media sosial seperti fan page Facebook untuk menghasilkan produk-produk berkualitas. Produk yang berkualitas ketika dibicarakan di media sosial, efek multiplier-nya akan menyebar luar biasa. Media sosial ini hanyalah tools untuk menghubungkan brand dengan penggunanya, sementara kualitas produk adalah yang utama harus dihadirkan oleh sebuah brand.

Satu hal lagi, fans yang multibrand, mereka akan dengan mudah membandingkan antara produk Anda dengan produk kompetitor. Maka produk yang memiliki value yang lebih baik yang akan dipilih. Value itu bisa berupa kualitas produk, fitur, harga, layanan pelanggan, dan sebagainya.


Akhirnya, biarkan para kuter (quiz hunter) me-Like Anda dan kompetitor Anda, tetapi yang terpenting mereka lebih menyukai Anda dan ketika mereka akan membeli sebuah produk, mereka akan lebih memilih Anda dibandingkan kompetitor.




Wednesday 20 February 2013

Dulu, Siapa yang Mau Beli Ponsel Samsung

Dulu, orang mengenal Samsung sebagai brand elektronik dan peralatan rumah tangga seperti lemari es, televisi, pendingin ruangan, hingga perangkat pendukung komputer seperti monitor. Sebagai mahasiswa di era 1998 - 2002, saya lebih fokus memperhatikan monitor. Di era itu ada beberapa pemain besar untuk monitor komputer yang saya ingat, di antaranya Samsung, LG, dan Philips. Philips sebenarnya bagus, entah kenapa mereka menghilang dalam persaingan. Di pasar ponsel pun boleh dibilang Philips juga gagal, padahal Philips cukup dikenal sebagai ponsel yang memiliki ketahanan baterei yang lebih baik.

Ketika memasuki pasar ponsel, Samsung masih dipandang sebelah mata. Orang lebih memilih Nokia, Sony Ericsson, atau Motorola. Nasib Samsung mirip seperti LG, masih dianggap sebagai ponsel biasa dengan kemampuan biasa dan cepat rusak. Pokoknya engga banget dech..


iPod
Sebelum kita bicara tentang Samsung yang menjadi penguasa baru dunia perponselan, bahkan Sony Ericsson (sekarang kembali menjadi Sony setelah memutuskan kerja sama dengan Ericsson) pun sepertinya agak kocar-kacir menghadapi gempuran Samsung, kita perlu memulai dari inovasi Apple berupa iPod karena ini akan menjadi titik awal munculnya inovasi-inovasi baru abad 21 seperti iPhone dan iPad yang melahirkan persaingan besar antara Apple dengan Samsung, baik di tablet maupun ponsel.

iPod muncul pertama kali tahun 2001. Sebuah inovasi yang luar biasa dari Apple. Semua orang terhentak kaget, Apple yang tadinya hanya bermain dengan komputer canggih nan menawan, kini bermain dengan gadget. Apple sukses besar dengan iPod-nya.

Android
Persaingan besar antara Apple dengan Samsung tidak akan pernah terjadi kalau tidak ada Android. Ya, Android, sebuah sistem operasi milik Google yang sebenarnya ditemukan oleh Andy Rubin dan Rich Miner pada Oktober 2003. Google mengakuisisinya pada Agustus 2005. Pada awalnya orang meragukan Android buatan Google, namun seiring berjalannya waktu, justru Android inilah yang akhirnya digunakan oleh mayoritas brand ponsel, seperti Sony Ericsson, HTC, dan Samsung. Bahkan sekarang ini mayoritas brand ponsel menggunakan OS Android. Hanya Nokia saja yang tetap bertahan dengan OS buatannya sendiri, meskipun belakangan sepertinya Nokia menyerah dan akhirnya menggunakan OS besutan Microsoft.


iPhone
Apple bereaksi positif terhadap kemunculan Android dengan melakukan gebrakan yang cukup dahsyat dengan hadirnya ponsel cerdas iPhone dengan sistem operasi iOS, 6 tahun setelah iPod generasi pertama hadir. Ekspektasi tinggi digantungkan ke Apple oleh para pecintanya dan Apple mampu menjawabnya dengan sangat baik. iPhone pun sukses. Pada tahap ini, ponsel Samsung dengan sistem operasi Android masih belum ada apa-apanya. Selain iPhone, orang hanya akan melirik Sony Ericsson, Nokia, atau HTC. Oh iya, sebelumnya generasi iPAQ milik HP atau Palm sempat menjadi pilihan bagi pengguna ponsel cerdas kelas atas sebelum hadirnya Android.


iPad dan Mulai Berakhirnya Pasar Netbook
April 2010 dunia kembali dikejutkan dengan hadirnya iPad, sebuah gadget yang mengusung layar lebar 10 inci yang boleh dibilang ke depannya mampu menggantikan peran netbook. iPad dapat merekam video, mengambil gambar, memainkan musik, hingga dapat melakukan kegiatan online seperti browsing internet dan mengirimkan email. Jangan lupa, beragam aplikasi menarik, mulai dari permainan hingga aplikasi pendukung lainnya, dengan mudah diunduh melalui App Store. Bendera Apple kian berkibar.


Sejarah Galaxy Tab dan Kejayaan Samsung Dimulai
Di luar dugaan, Samsung merespon kehadiran iPad beberapa bulan setelah kemunculannya dengan inovasi canggih berupa Samsung Galaxy Tab dengan layar 7 inci dan menggunakan sistem operasi Android. Menurut saya, inilah titik balik (turning point) ponsel Samsung. Saya menganggap Samsung Galaxy Tab generasi pertama ini menjadi flagship bagi Samsung dan berimbas pada ponselnya. Samsung Galaxy Tab 7" ini laris manis bak kacang goreng. Saya pun ikut mencicipinya.. :)

Setelah Samsung Galaxy Tab, Samsung seolah tidak berhenti berinovasi. Dari mulai Samsung Galaxy S generasi pertama hingga yang terakhir, bahkan rumornya akan segera hadir Samsung Galaxy S IV, hingga semi tablet seperti Samsung Galaxy Note. Berkat Samsung Galaxy Tab, konsumen akhirnya berbondong-bondong membeli ponsel Samsung. Akan lain ceritanya jika Galaxy Tab ini gagal pada saat peluncuran pertamanya.

Kehebatan Samsung terletak pada inovasinya, mereka punya sumber daya yang dibutuhkan untuk melakukan itu. Itulah kompetensi intinya. Apple pun nampak agak tergopoh-gopoh juga meladeni Samsung, apalagi Sony, LG, dan lainnya. Untung bagi Apple, mereka punya banyak konsumen loyal, tidak peduli apakah spesifikasi produk Apple lebih rendah dibandingkan Samsung.

Kekuatan lain dari Samsung adalah budget pemasarannya yang seolah unlimited. Ini rasanya sulit ditandingi oleh brand ponsel lainnya. Hasilnya luar biasa, siapa yang saat ini tidak mengenal Samsung dan Galaxy-nya. 

Samsung kini menjelma menjadi brand besar dan sukses di industri ponsel/tablet. Mereka sudah punya basis penggemar setianya. Produknya selalu ditunggu, bahkan orang rela antri sampai harus bermalam, untuk mendapatkan ponsel/tablet Samsung pada setiap peluncuran perdananya. Dulu, siapa yang mau antri untuk mendapatkan ponsel Samsung?







Saturday 16 February 2013

Kerancuan tentang Kita

"Tweeps, kita mau ngadain kuis hari ini"
"Pemenang kuis hari ini akan kita umumkan besok ya"

Sering kali saya melihat admin brand-brand di media sosial menggunakan kata ganti "kita" padahal yang dimaksud adalah "kami". Meskipun di dunia pergaulan ini sudah menjadi lumrah, tetapi bagi sebuah brand seharusnya mampu mengedepankan bahasa yang benar. Dr Sarlito, sosiolog, juga sempat membahas kerancuan bahasa ini di salah satu rubrik di koran Sindo.

Bahasa yang benar tidak mesti harus formal dan kaku, yang terpenting kita menggunakannya secara tepat meskipun dibawakan dengan bahasa yang gaul. Untuk mendapatkan admin yang seperti ini, memang sulit. Mungkin dia bisa merangkai kata dengan baik, tetapi ketika ditumpahkan dalam bahasa tulisan, belum tentu benar, misalnya saja kata kerja pasif yang seharusnya imbuhan "di" disambung dengan kata kerjanya, tetapi ini dipisah. Dan, banyak yang seperti ini, banyak yang masih tidak bisa membedakan "di" sebagai imbuhan dan "di" sebagai kata penunjuk tempat.

Semoga kita pun bisa menempatkan setiap kata yang kita gunakan dengan benar. Jangan lagi bilang "kita akan mengundi pemenang" padahal yang dimaksud adalah pemilik brand, tidak termasuk peserta.




Thursday 14 February 2013

Ketika Jari Berbicara

Hadirnya teknologi telekomunikasi yang diikuti dengan melimpahnya berbagai perangkat mobile yang makin hari makin canggih saja, dilengkapi dengan teknologi web 2.0 yang memungkinkan kita untuk berinteraksi secara interaktif di media online, seharusnya mampu mendekatkan yang jauh.

Teman kita yang saat ini tidak tahu entah di mana, tiba-tiba bisa kita temukan di Facebook. Jadilah komunikasi dilakukan via Facebook. Dan sering kali yang pertama dilakukan adalah minta PIN. Ya, biar bisa bikin group atau sekadar bebeeman. Ga punya PIN ga ada masalah, masih ada WhatsUp, LINE, Kakao, atau Viber. Paling jadul adalah YM.. :)

Ya, tahun 2000-an seolah-olah semuanya menjadi dekat. Teman, saudara, rekan bisnis, seolah semuanya ada di tangan kita. Tinggal mention, kita bisa langsung terhubung. Mau ngadain kumpul-kumpul, tinggal broadcast, engga usah repot-repot cari alamat rumah untuk dikirimkan undangan. Gila aja, butuh waktu berapa lama itu. Kalau pakai broadcast, sekian detik undangan kita sampai ke semua tujuan. Konfirmasi pun akan segera muncul, ada yang bilang "Sip, gw pasti dateng", "mudah-mudahan ya gw bisa datang", "engga janji sih bisa datang atau engga", hingga kalo lagi malas, tinggal bilang "kayaknya gw ga bisa datang dech, ada acara lain. Sori ya, lain waktu gw pasti ikutan" :)

Tapi, ada yang unik lho di era web 2.0 ini. Sering engga sih ngeliat ada 4 - 5 orang duduk mengelilingi sebuah meja bundar tetapi mereka engga ngobrol, masing-masing sibuk memainkan jarinya di smartphone atau tablet yang selalu menemani ke mana pun pergi, bahkan ketika buang hajat sekalipun.. ? Ada yang senyum-senyum, ketawa sampai cekikikan, ada yang serius banget. Lucunya, mereka itu sebenarnya lagi ngobrol antar mereka, tetapi lewat grup BBM, lewat FB, atau twitter. 

Jarak yang dekat seolah menjadi jauh, melewati gelombang frekuensi tertentu menembus awan. Bicara tidak lagi dengan mulut, tetapi dengan menekan jari-jari tangan ke tombol keypad yang ada di BB atau keyboard virtual yang ada di smartphone atau tablet. Ucapan selamat tahun baru, selamat hari raya, kini tidak perlu lagi terucap dari lisan. Kalau ketemu aja baru ngucapin, kalo engga ketemu ya cukup dengan sebuah SMS atau paling mudah posting status di FB atau broadcast via BB. Rasanya SMS juga mulai ditinggalkan karena makan biaya. Bayangkan kalau ada 100 teman, 100 SMS yang harus kita kirimkan untuk sekadar mengucapkan selamat. Kalo via FB, cukup sekali posting, plus kartu ucapan yang menarik atau foto narsis kita, sudah bisa tersebar ke seluruh teman kita. Dan, itu dirasa cukup telah menunaikan ritual mohon maaf lahir batin atau lainnya.

Apaka web 2.0 telah mengubah budaya kita? Bisa jadi. Yang pasti orang akan lebih banyak bicara dengan jari ketimbang mulut. Mungkin pepatah yang menggunakan kata "mulut" di "Mulutmu harimaumu" perlu diganti disesuaikan dengan mendia sosial apa yang digunakan. Kalau di twitter, maka "twitmu harimaumu". Kalau di FB, "Postinganmu harimaumu".

Di hari kiamat nanti, mungkin pertanyaan yang paling lama dan paling banyak akan diberikan kepada anggota tubuh bernama "jari tangan". Jari tanganmu kamu gunakan untuk apa? :)